Kamis, 16 September 2010

Sejarah PUNK

Sejarah Kelahiran Punk
Tak ada yang tahu pasti kapan dan di mana munculnya budaya punk pertama kali. Tapi ada sebuah catatan penting ketika sebuah grup band dari Inggris yang dalam tiap pertunjukannya selalu dihadiri anak-anak muda dengan dandanan berbeda dari yang lain. Nama band itu adalah Sex Pistols dan hit mereka yang terkenal adalah “Anarchy in U.K.” Wabah ini secara cepat menyebar ke Eropa.

Punk muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat yang kondisi perekonomiannya lemah dan pengangguran di pinggiran kota-kota Inggris, terutama kelompok anak muda, terhadap kondisi keterpurukan ekonomi sekitar tahun 1976-1977. Kelompok remaja dan kaum muda ini merasa bahwa sistem monarkilah yang menindas mereka. Dari sini muncul sikap resistensi terhadap sistem monarki. Kemarahan-kemarahan ini diwujudkan dalam bentuk musik yang berisi lirik-lirik perlawanan dan protes sosial politik serta cara berpakaian yang tidak lazim. Konser-konser musik digelar sebagai media untuk mengampanyekan ide-ide mereka.

Dari Rock n’ roll ke Punk
Punk sebetulnya memiliki dasar sikap yang sama dengan musik rock n’ roll, aliran musik yang lahir pada tahun 1955. Dulu, rock n’ roll itu menjadi musik milik generasi muda yang ingin memberontak terhadap kemapanan, sehingga dijauhi dan tidak disukai para orang tua. Tapi saat rock mulai kehilangan gereget dan dianggap monoton, mulailah ada kasak-kusuk untuk menciptakan jenis musik baru yang ekstrem sebagai reaksi melawan kejenuhan tadi. Dari keresahan itulah aliran punk lahir.

Tidak seperti aliran musik lainnya, punk lebih mengutamakan pelampiasan energi dan curhat ketimbang aspek teknis bermain musik. Para pencinta punk berprinsip bahwa tidak perlu jago bermain musik, yang penting penampilan oke dan yang namanya unek-unek harus bisa dikeluarkan. Dan memang, buktinya, almarhum Sid Vicious dari Sex Pistols tidak jago bermain bass. Meski demikian, orang-orang tidak memandangnya dengan remeh dia. Malah justru Sid banyak digandrungi para pencinta punk.

Pada tahun 1964, terjadi serbuan besar-besaran grup asal Inggris ke Amerika. Dan yang menjadi “biang keladinya” adalah The Beatles. Melihat trend baru itu, remaja Amerika pun sadar bahwa sebuah grup sanggup mengerjakan semuanya sendiri. Maka di berbagai pelosok Amerika, anak-anak sekolah pun mulai membentuk band dan latihan di garasi rumah mereka sendiri. Karena mereka baru belajar, musiknya pun tidak yang susah-susah. Mereka cenderung belajar dari grup-grup yang alirannya simple tapi nge-rock, macam Rolling Stones, The Whom atau Yardbirs, yang musiknya lebih menitikberatkan pada riff dan power, bukan struktur lagu yang njelimet.

Maka ketika mereka pada gilirannya mulai menulis lagu sendiri, musik mereka mempunyai ciri khas sederhana tapi “kencang” atau “ber-power”, biasanya dengan satu riff gitar yang di ulang-ulang. Tapi meski bentuknya masih “primitif”, musik yang mereka ciptakan mampu menggugah semangat pendengar. Sesuai dengan tempat kelahirannya, orang memberi julukan untuk warna musik ini: Garage Rock. Grup-grup yang lahir contohnya The Standells, The Seeds, The Music Machine, The Leaves, dan lain-lain. Dan dari sini lahirlah sound yang selanjutnya berkembang jadi punk rock.

Dari Iggy hingga Ramones
Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat.

Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.

Memasuki dekade 70-an, punk mulai menemukan bentuknya seperti yang kita kenal sekarang. Ciri pemberontakannya makin kentara, dan segala rupa aksi panggung yang ugal-ugalan pun mulai muncul. Dari generasi pelopor punk ini ada dua nama yang boleh disebut paling menonjol yaitu MC 5 dan Iggy and The Stooges.

Iggy adalah salah satu dari segelintir pentolan punk yang kiprahnya masih berlanjut sampai dasawarsa 90-an. Dan seiring dengan lahirnya generasi baru punk rock, namanya pun makin diakui sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam musik rock pada umumnya, dan punk pada khususnya.

Tahun 1975 lahirlah beberapa grup musik baru seperti Blondie yang ngepop, Talkin Heads yang avant garde, The Voidoids yang berkutat dengan gitar, dan The Dead Boys yang nyeleneh. Dan ada The Ramones. Ramones punya citra seperti tokoh kartun. Empat anak jalanan asal Queens yang tampil gahar dengan jaket kulit dan jeans belel, seperti geng. Gerombolan ini memancang mitos bahwa mereka satu keluarga. Pada tanggal 4 Juli 1976,

Ramones mengadakan konser perdananya di Inggris. Entah itu tanggal keramat atau apa, konser mereka meninggalkan bekas yang dalam diri kaum muda Inggris yang menyaksikannya. Konser itu disaksikan oleh para pentolan grup yang belakangan memotori kebangkitan punk di Inggris, yaitu Sex Pistols, The Damned, dan The Clash.

Dari Sex Pistols hingga Green Day
Sex Pistols dan The Clash memasukkan aspek baru dalam perkembangan punk, yaitu protes sosial dan politik. Kedua grup ini menjadi penyambung lidah kaum muda Inggris yang frustrasi. Mulailah mereka menyuarakan protes terhadap segala ketidakadilan yang mereka lihat sehari-hari. Cuma saja pendekatan mereka berbeda, sesuai dengan latar belakang kehidupan masing-masing.

Di tahun 1980-an, di saat era punk di Inggris datang dan pergi, di berbagai penjuru dunia mulai muncul berbagai macam band beraliran punk dan belakangan menjadi legenda setempat. Di Irlandia, misalnya, ada grup The Understones. Di Australia ada The Saints. Dan di Selandia Baru ada The Clean.

Di Amerika gelombang terbaru pemusik punk AS bukan berasal dari New York, melainkan dari California. Generasi ini mendapat pengaruh yang sama besar dari The Ramones dan Sex Pistols. Tapi agak lain dengan kedua mentornya itu, mereka sangat serius menghayati prinsip-prinsip dasar punk. Bagi mereka punk bukan sekadar aliran musik, melainkan juga identitas, gaya hidup, bahkan juga gaya hidup bahkan prinsip.

Di selatan LA, tepatnya di Hermosa Beach, sebuah kelompok punk metal baru bernama Black Flag bela-belain menyewa gereja sebagai tempat latihan mereka. Tempat ini selanjutnya menjadi pusat kegiatan pencinta punk setempat. Grup-grup yang lahir di sana The Circle Jerk, Social Distortion, dan Suicidal Tendencies, dan lain-lain. Mereka lebih berhaluan keras. Penampilannya lebih brutal dan liriknya lebih radikal.

Sementara di San Francisco aliran punk lebih berpolitik. Di sana muncul nama-nama macam The Avengers, The Dils, dan yang paling dominan The Dead Kennedys. Grup yang terakhir disebut tadi melancarkan protes keras terhadap berbagai hal, mulai dari kebijaksanaan pemerintah sampai fasisme. Musik mereka berada di perbatasan antara punk yang melodius dan hardcore murni.

New York juga melahirkan grup-grup yang belakangan memperkaya khazanah musiknya dengan unsur lain, seperti Beasty Boys dan Sonic Youth. Dan ada juga The Misfits, yang mengungsi dari New Jersey.

Pada akhir tahun 1980-an benih kebangkitan generasi kedua mulai ditanam di LA. Dulu, awal dasawarsa ini, di San Fernando pernah berdiri sebuah grup band bernama Bad Religion. Bad Religion memiliki personelnya yang rata-rata sangat intelek. Saking inteleknya, lagu mereka sering memakai kata-kata yang membuat orang Amerika harus membuka kamus. Bad Religion merupakan band yang memelopori berdirinya generasi baru grup-grup punk California. Sebut saja macam Dag Nasty, Pennywise, NOFX, dan belakangan tentu saja Rancid, Offspring, serta Green Day.

Punk dan Gaya Hidup
Punk dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu punk mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde, yaitu dandanan nyeleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para performer berkualitas rendah, dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan harus disertai dengan hebohnya pemikiran.

Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.

Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, antikemapanan, antisosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.

Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan DIY atau do it yourself. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.

Punk dan Anarkisme
Kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.

Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka.

Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki ke-khasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut dengan gerakan Anarko-punk. Dari tahun ke tahun, musik punk terus mengalami perubahan bentuk. Yang tidak berubah adalah semangat pemberontakannya.

Senin, 07 Juni 2010

Tragedi Heysel

Tragedi Heysel terjadi pada tanggal 29 Mei 1985 di mana pada saat itu tengah terjadi pertandingan antara Liverpool dan Juventus di Piala Champions (saat ini Liga Champions). Peristiwa ini merupakan sejarah buram persepak bolaan Inggris pada tahun itu, karena saat itu klub-klub Inggris sedang jaya-jayanya. Karena peristiwa ini pula tim-tim dari Inggris dilarang bermain di tingkat internasional selama 5 tahun lamanya. Peristiwa ini bermula dari fans masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Lalu tiba-tiba sekitar satu jam sebelum kick off kelompok hooligan Liverpool menerobos pembatas masuk ke wilayah tifosi Juventus. Tidak terjadi perlawanan karena yang berada di bagian tersebut bukanlah kelompok Ultras. Pendukung Juventus pun berusaha menjauh namun kemudian sebuah tragedi terjadi. Dinding pembatas di sektor tersebut roboh karena tidak kuasa menahan beban dari orang-orang yang terus beruhasa merangsek dan melompati pagar. Ratusan orang tertimpa dinding yang berjatuhan. Akibat peristiwa ini sebanyak 39 orang meninggal dunia dan 600 lebih lainnya luka-luka.

Meskipun terjadi peristiwa yang mengenaskan dengan jumlah korban yang begitu besar, panitia memutuskan untuk terus melanjutkan pertandingan. Kick off dilakukan setelah kapten kedua kesebelasan meminta penonton untuk tenang. Alasan lain adalah untuk meredam atmosfer kerusuhan yang mulai menyebar. Tifosi Ultras Juventus di bagian lain stadion sempat akan melakukan pembalasan. Mereka mencoba untuk bergerak ke arah pendukung Liverpool namun berhasil dicegah satuan keamanan. Dengan dimulainya pertandingan maka suasana bisa mulai dikendalikan. Pertandingan itu sendiri dimenangi Juventus dengan hasil akhir 1 - 0. Michel Platini mencetak gol semata wayang Juventus dari titik penalti setelah Zbigniew Boniek dilanggar oleh pemain Liverpool.

Kepolisian Inggris menyelidiki lebih lanjut dari berbagai sumber. Film sepanjang 17 menit dan berbagai hasil jepretan kamera menjadi alat untuk mengungkap kejadian tersebut. TV Eye menayangkan satu jam penuh perihal Tragedi Heysel, dan foto-foto pun dipublikasikan melalui media massa. Hanya 27 orang akhirnya ditahan dengan kasus penganiayaan dan pembunuhan, sebagian besar mereka berasal dari Merseyside dan memang telah beberapa kali berurusan dengan hukum karena kerusuhan sepakbola. 14 orang pendukung Liverpool itu akhirnya dipidana atas dakwaan tersebut.

Setelah penyelidikan lebih lanjut, pada tanggal 30 Mei 1985 UEFA melalui penyidik resminya, Gunter Schneider, menyatakan bahwa kesalahan sepenuhnya ada di pihak Liverpool. Bahkan kemudian, pada tanggal 31 Mei 1985, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher mendesak FA untuk melarang tim-tim Inggris untuk bermain di Eropa. Dua hari kemudian UEFA secara resmi memutuskan untuk melarang semua klub sepakbola Inggris untuk melakukan pertandingan di seluruh Eropa untuk "waktu yang belum ditentukan". Tanggal 6 Juni putusan itu berubah menjadi pelarangan bertanding di seluruh dunia, namun seminggu kemudian diputuskan bahwa pertandingan persahabatan diperbolehkan. Sanksi ini tidak berlaku untuk Timnas Inggris.

Putusan terakhir adalah pengucilan klub-klub Inggris dari peta persepakbolaan dunia selama lima tahun, dan tiga tahun tambahan khusus untuk Lipervool dan akhirnya mendapat keringanan dengan hanya satu tahun tambahan. Peristiwa Heysel telah merugikan klub-klub Inggris seperti Manchester United, Arsenal, Everton, Nottingham Forest, Chelsea, Tottenham Hotspur, dan lain-lain yang pada rentang waktu tersebut sebenarnya berhak untuk ikut ambil bagian dalam kompetisi Eropa.

Hukuman yang begitu berat tersebut adalah sebagai peringatan bahwa kekerasan dalam sepakbola tidak boleh terjadi kembali. Suporter asal Inggris memang terkenal akan kebrutalannya. Makanya dari sanalah muncul istilah "hooliganisme". 10 tahun sebelum tragedi ini, di final European Cup 1975 fans Leeds United membuat kerusuhan dengan menyerang suporter Bayern Muenchen, berikut pemain dan offisial. Masyarakat sepakbola mengutuk tindakan itu namun UEFA masih memberi keringanan dengan hanya menghukum dengan larangan bertanding di kejuaraan Eropa untuk Leeds United selama 4 tahun. Setahun sebelum Final Piala Champions 1985, sebenarnya hooligan Lipervool juga sudah bentrok dengan tifosi AS Roma dalam ajang yang sama. Namun keributan itu tidak sampai mendapat begitu banyak perhatian.

Sebuah tugu peringatan Tragedi Heysel didirikan dengan biaya £140,000. Diresmikan tepat 20 tahun setelah kejadian tersebut, 29 Mei 2005. Berbentuk jam matahari, tugu tersebut dihiasi dengan batu-batuan yang berasal dari Italia dan Belgia. Sebuah puisi "Funeral Blues" oleh penyair Inggris W. H. Auden melengkapi simbolisasi kesedihan tiga negara. 39 lampu bersinar untuk setiap korban Heysel. Tugu peringatan ini didesain oleh seniman Perancis Patrick Remoux.

Perdelapan final Liga Champions 2005 mempertemukan kedua tim. The Kop, di Liverpool mengkoordinasikan sebuah koreografi mosaik bertuliskan "Amicizia" ditujukan kepada para suporter Juventus yang memadati Anfield. Artinya persahabatan, sebuah permohonan maaf kepada tifosi Juventus. Sebagian tifosi menyambutnya, namun tidak sedikit pula yang menolaknya karena rentang waktu uluran persahabatan tersebut terlalu lama, 20 tahun sejak tragedi Heysel pecah.

Apa itu Blog

PENGERTIAN BLOG
Blog adalah kependekan dari Weblog, istilah yang pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997. Jorn Barger menggunakan istilah Weblog untuk menyebut kelompok website pribadi yang selalu diupdate secara kontinyu dan berisi link-link ke website lain yang mereka anggap menarik disertai dengan komentar-komentar mereka sendiri.
Secara garis besar, Weblog dapat dirangkum sebagai kumpulan website pribadi yang memungkinkan para pembuatnya menampilkan berbagai jenis isi pada web dengan mudah, seperti karya tulis, kumpulan link internet, dokumen-dokumen(file-file WOrd,PDF,dll), gambar ataupun multimedia.
Para pembuat blog dinamakan Blogger. Melalui Blognya, kepribadian Blogger menjadi mudah dikenali berdasarkan topik apa yang disukai, apa tanggapan terhadap link-link yang di pilih dan isu-isu didalamnya. Oleh karena itu Blog bersifat sangat personal.
Perkembangan lain dari Blog yaitu ketika Blog memuat tulisan tentang apa yang seorang Blogger pikirkan, rasakan, hingga apa yang dia lakukan sehari-hari. Blog kemudian juga menjadi Diary Online yang berada di Internet. Satu-satunya hal yang membedakan Blog dari Diary atau Jurnal yang biasa kita miliki adalah bahwa Blog dibuat untuk dibaca orang lain.

SEJARAH BLOG
Blog pertama kemungkinan besar adalah halaman "What’s New" pada browser Mosaic yang dibuat oleh Marc Andersen pada tahun 1993. Kalau kita masih ingat, Mosaic adalah browser pertama sebelum adanya Internet Explorer bahkan sebelum Nestcape.
Kemudian pada Januari 1994 Justin Hall memulai website pribadinya "Justin’s Home Page" yang kemudian berubah menjadi "Links from the Underground" yang mungkin dapat disebut sebagai Blog pertama seperti yang kita kenal sekarang.
Hingga pada tahun 1998, jumlah Blog yang ada masih sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena saat itu diperlukan keahlian dan pengetahuan khusus tentang pembuatan website, HTML, dan web hosting untuk membuat Blog, sehingga hanya mereka yang berkecimpung di bidang Internet, System Administrator atau Web Designer yang kemudian pada waktu luangnya menciptakan Blog-Blog mereka sendiri.
Namun saat ini, kita tidak perlu menjadi seorang programmer untuk menjadi seorang Blogger, karena kita dapat menampilkan seluruh isi dalam web dengan mudah melalui menu editor yang telah disediakan.
Keuntungan dari penggunaan Weblog antara lain:
  1. Melalui weblog,kita dapat memperluas hubungan teman/ kenalan hingga dapat membentuk suatu komunitas yang besar.
  2. Weblog melebihi surat elektronik (Email), karena satu posting blog yang anda bahas, dapat dibaca oleh pengunjung blog yang tak terbatas. Beda dengan email yang hanya bisa dibaca oleh orang yang kita kirimkan. Selain itu, pengunjung blog juga dengan cepat dapat memberikan respon terhadap posting blog melalui komentar yang dapat langsung dituliskan di blog tersebut.
Seiring perkembangan weblog dari waktu ke waktu, pengertian weblog juga akan berkembang seiring dengan ide - ide dan kemauan para Blogger.

Komunikasi Intrapersonal

Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang. Orang itu berperan baik sebagai komunikator maupun komunikan. Dia berbicara kepada dirinya sendiri. Dia bertanya pada dirinya dan dijawab oleh dirinya sendiri.

Memang tidak salah kalau komunikasi intrapersonal disebut melamun, tetapi jika melamun bisa mengenai segala hal misanya melamun jadi orang kaya, melamun kawin lagi dan sebagainya, komunikasi intrapersonal berbicara dengan diri sendiri dan bertanya jawab dengan diri sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain, dan orang lain ini bisa satu orang, sekelompok orang atau masyarakat keseluruhan. Jadi sebelum berkomunikasi dengan orang lain, dengan lain perkataan sebelum melakukan komunikasi sosial seseorang melakukan komunikasi intrapersonal dahulu.

Di saat kita sedang berbicara kepada diri kita sendiri, sedang melakukan perenungan, perencanaan dan penilaian, pada diri kita terjadi proses neuro-fisiologis yang membentuk landasan bagi tanggapan, motivasi dan komunikasi kita dengan orang-orang atau factor-faktor di lingkungan kita (Casmir : 1974, 37).

Ronald L. Applbaum, et.al dalam bukunya “Fundamental Concept in Human Communication” (1973, 13) mendefinisikan komunikasi intrapersonal sebagai :

“Komunikasi yang berlangsung di dalam diri kita; ia meliputi kegiatan berbicara kepada diri kita sendiri dan kegiatan-kegiatan mengamati dan memberikan makna (intelektual dan emosional) kepada lingkungan kita”.

Mampu berdialog dengan diri sendiri berarti mampu mengenal diri sendiri. Adalah penting bagi kita untuk bisa mengenal diri sendiri sehingga kita dapat berfungsi secara bebas di masyarakat. Belajar mengenal diri sendiri berarti belajar bagaimana kita berpikir dan merasa serta bagaimana kita mengamati, menginterpretasikan dan mereaksi lingkungan kita. Oleh karena itu untuk mengenal diri pribadi, kita harus memahami komunikasi intrapersonal.

G. Wiseman dan L. Baker dalam karyanya “Speech-Interpersonal Communication” menjelaskan proses kegiatan yang terjadi dalam diri seorang komunikator, yang katanya digerakkan oleh perangsang internal dan perangsang eksternal. Perangsang internal menunjukkan situasi psikologis atau fisiologis, misalnya lapar atau gelisah. Perangsang eksternal datang dari lingkungan sekitar komunikator, baik secara terbuka dan sengaja (misalnya, melihat lampu lalu lintas). Atau secara tertutup dan tidak disadari (misalnya, latar belakang musik dalam tayangan film).

Perangsang-perangsang internal dan eksternal itu diterima oleh organisme sebagai getaran-getaran syaraf yang disampaikan kepada otak dan ini pada gilirannya memutuskan perangsang mana yang diperhatikan dan diperkirakan; proses pengambilan keputusan tersebut dinamakan diskriminasi (discrimination). Perangsang-perangsang yang dipilih pada tahap diskriminasi itu kemudian dikelompokkan lagi, yaitu ditata menjadi beberapa susunan yang bermakna bagi komunikator.

Sekali terkelompokkan, perangsang-perangsang yang didiskriminasikan disandi balik ke dalam lambing (symbol decoded) diubah menjadi lambang-lambang pikiran di dalam diri komunikator, suatu tahap yang diperlukan jika perangsang akan diberi makna. Setelah penyandibalikan (decoding), proses bergerak menuju tahap ideasi (ideation) pemikiran, perencanaan, pengorganisasian pikiran. Di sini lambang-lambang yang dating dihubungkan dengan pengetahuan dan pengalaman terdahulu, maka terumuskan pesan yang direncanakan komunikator untuk dilontarkan. Tahap ini diikuti oleh inkubasi (incubation), apabila ide-ide bagaikan menetes menjadi bentuk-bentuk tertentu.

Pada titik ini lambang-lambang pikiran siap untuk disandi (encoded) diubah mnejadi kata atau kial (gesture) yang bermakna. Pada tahap transmisi (transmission) yang terakhir, lambang-lambang kata dan kial yang disandi, secara fisik dipancarkan, dalam bentuk ucapan, tulisan dan lain-lain, yang dapat diterima dan dimengerti oleh komunikan yang dituju.

Seperti ditegaskan tadi bagi seorang komunikator melakukan komunikasi intrapersonal amat penting sebelum ia berkomunikasi dengan orang lain, lebih-lebih jika komunikasinya bersifat vertical ke atas (upward vertical communication); kalau kita berkehendak mengubah perilaku atasan kita atau orang yang statusnya lebih tinggi daripada kita. Dengan terlebih dahulu di dalam diri pribadi kita memformulasikan pesan yang akan disampaikan kepada komunikan kita, komunikasi akan efektif sesuai dengan tujuan kita.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dengan diri sendiri, maka komunikasi intrapersonal dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni psikologis dan biologis.

A. Psikologis

Secara psikologis kita dapat mengatakan bahwa setiap orang mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Dalam ilmu komunikasi kita berkata, pesan diberi makna berlainan oleh orang yang berbeda. Kata-kata tidak mempunyai makna; oranglah yang memberi makna. Oleh karena itu, secara psikologis komunikasi intrapersonal mempengaruhi proses komunikasi lainnya, misalnya komunikasi interpersonal. Dalam psikologi, komunikasi intrapersonal meliputi tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif dan konatif.

· Aspek Kognitif

Aspek kognitif berkaitan dengan kegiatan berpikir, di dalamnya termasuk kegiatan menerima, mengolah menyimpan dan menghasilkan kembali informasi. Proses pengolahan informasi, yang di sini kita sebut komunikasi intrapersonal, meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir.

a) Sensasi

Tahap paling awal dalam penerimaan informasi adalah sensasi. Sensasi berasal dari kata “sense”, artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. “Bila alat-alat indra mengubah informasi menjadi impuls-impuls syaraf – dengan bahasa yang dipahami oleh ‘komputer’ otak – maka terjadilah proses sensasi. Kata Dennis Coon (1977:79). “Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis atau konseptual dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra”, tulis Benyamin B. Wolman (1973:343).

Apapun definisi sensasi, fungsi alat indra dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting. Melalui alat indra, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya. Lebih dari itu, melalui alat indralah manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya. Tanpa alat indra manusia sama, bahkan mungkin lebih dari rumput-rumputan, karena rumput dapat juga mengindra cahaya dan humiditas (Lefrancois, 1974:39).

Kita mengenal lima alat indra atau panca indra. Psikologi menyebut sembilan (bahkan ada yang menyebut sebelas) alat indra : penglihatan, pendengaran, kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit, perasa dan penciuman. Kita dapat mengelompokkannya pada tiga macam indra penerima, sesuai dengan sumber informasi. Sumber informasi boleh berasal dari dunia luar (eksternal) atau dari dalam diri individu sendiri (internal). Informasi dari luar indra oleh eksteroseptor (misalnya, telinga atau mata). Informasi dari dalam indra oleh interoseptor (misalnya, sistem peredaran darah). Selain itu, gerakan tubuh kita sendiri diindra oleh proprioseptor (misalnya, organ vestibular).

Apa saja yang menyentuh alat indra – dari dalam atau dar luar – disebut stimuli. Kemudian alat indra akan segera mengubah stimuli yang dating menjadi energi saraf untuk disampaikan ke otak melalui proses transduksi. Agar dapat diterima pada alat indra, stimuli harus cukup kuat. Batas minimal intensitas stimuli disebut ambang mutlak (absolute threshold). Misalnya, mata hanya dapat menangkap stimuli yang mempunyai panjang gelombang cahaya antara 380 sampai 780 nanometer.

Sensasi selain ditentukan oleh faktor situasional seperti yang telah disebutkan di atas, sensasi juga dipengaruhi oleh faktor personal, seperti perbedaan pengalaman atau lingkungan budaya.

b) Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan maksa pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori (Desiderato, 1976:129).

Persepsi, seperti juga sensasi, ditentukan oleh factor personal dan factor situasional, selain itu juga terdapat factor yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi persepsi, yakni perhatian.

Perhatian

Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah (Kenneth Andersen, 1972:46). Perhatian terjadi jika kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indra kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indra yang lain. Apa yang kita perhatikan ditentukan oleh factor-faktor situasional dan personal. Factor situasional terkadang disebut sebegai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain : gerakan, intensitas stimuli, kebaruan dan perulangan.

Factor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi

Factor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai factor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli itu.

Factor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya.

Factor-faktor structural yang mennetukan persepsi

Factor-faktor structural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada system saraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler, Wartheimer (1959) dan Koffka merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat structural. Prinsip-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya, lalu menghimpunnya. Menurut Kohler, jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak adapat meneliti fakta-fakta yang terpisah; kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Untuk memahami seseorang, kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dalam masalah yang dihadapinya.

Pada persepsi sosial, pengelompokkan tidak murni structural; sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu yang lain. Di sini, masuk jugalah peranan kerangka rujukan. Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Sering terjadi hal-hal yang berdekatan juga dianggap berkaitan atau mempunyai hubungan sebab dan akibat.

Menurut Krech dan Crutchfield, kecenderungan untuk mengelompokkan stimuli berdasarkan kesamaan dan kedekatan adalah hal yang universal. Kita semua sering atau pernah melakukannya.

c) Memori

Dalam komunikasi intrapersonal, memori memegang peranan penting dalam mempengaruhi baik persepsi (dengan menyediakan kerangka rujukan) maupun berpikir. Menurut Schlessinger dan Groves (1976:352), memori adalah system yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya. Setiap saat stimuli mengenai indra kita, setiap saat pula stimuli itu direkam secara sadar atau tidak sadar.

Secara singkat, memori melewati tiga proses : perekaman, penyimpanan dan pemanggilan. Perekaman (disebut encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor indra dan sirkit saraf internal. Penyimpanan (storage), proses yang kedua, adalah menentukan berapa lama informasi itu berada beserta kita, dalam bentuk apa dan dimana. Penyimpanan bisa aktif atau pasif. Kita menyimpan secara aktif, bila kita menambahkan informasi tambahan. Kita mengisi informasi yang tidak lengkap dengan kesimpulan kita sendiri (inilah yang menyebabkan desas-desus menyebar lebih banyak dari volume yang asal). Memori secara pasif terjadi tanpa penambahan. Pemanggilan (retrieval), dalam bahasa sehari-hari, mengingat lagi, adalah menggunakan informasi yang disimpan (Mussen dan Rosenzweig, 1973:499).

Mekanisme Memori

Sudah sejak lama orang ingin mengetahui bagaimana cara kerja memori. Secara praktis, orang ingin mencari cara-cara untuk mengefektifkan pekerjaan memori. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang memori, yakni a) Teori Aus : menurut teori ini memori hilang atau memudar karena waktu. Seperti otot, memori kita baru kuat, bila dilatih terus menerus ; b) Teori Interferensi : menurut teori ini, memori merupakan meja lilin atau kanvas. Pengalaman adalah lukisan pada meja lilin atau kanvas. Katakanlah, pada kanvas itu sudah terlukis hokum relativitas. Segera setelah itu, anda mencoba merekam hokum medan gabungan. Yang kedua akan menyebabkan terhapusnya rekaman yang pertama atau mengaburkannya. Ini disebut interferensi. Misalnya, anda menghafal halaman pertama sebuah buku, dan anda berhasil. Teruskan ke halaman dua. Berhasil juga, tetapi yang diingat pada halaman pertama berkurang. Ini disebut inhibisi retroaktif (hambatan ke belakang) ; c) Teori Pengolahan Informasi : secara singkat, teori ini menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada sensory storage (gudang indrawi), kemudian masuk short-term memory (STM, memori jangka pendek) lalu dilupakan atau dikoding untuk dimasukkan ke dalam long-term memory (LTM, memori jangka panjang). Otak manusia dianalogikan dengan computer.

d) Berpikir

Proses keempat yang mempengaruhi penafsiran kita terhadap stimuli adalah berpikir. Dalam berpikir kita melibatkan semua proses sensasi, persepsi dan memori. Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa.

Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan dan menghasilkan yang baru. Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga dengan singkat, Anita Taylor et.al. mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan (1977:55).

Secara garis besar ada dua macam berpikir : berpikir autistic dan berpikir realistic. Yang pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Fantasi, menghayal, wishful thinking, adalah contoh-contohnya. Dengan berpikir autistic orang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Berpikir realistic, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L. Ruch menyebut tiga macam berpikir realistic, yakni : a) berpikir deduktif, mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang pertama merupakan pernyataan umum. Dalam logika, ini disebut silogisme ; b) berpikir induktif, sebaliknya, dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi ; c) berpikir evaluatif, ialah berpikir kritis, menilai baik buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut criteria tertentu.

Berpikir kreatif, menurut James C. Coleman dan Coustance L. Hammen (1974:452), adalah “thinking which produces new methods, new concepts, new understanding, new inventions, new work of art”. Berpikir kreatif diperlukan mulau dari komunikator yang harus mendesain pesannya, insinyur yang harus merancang bangunan, ahli iklan yang harus menata pesan verbal dan pesan grafis, sampai pada pemimpin masyarakat yang harus memberikan perspektif baru dalam mengatasi masalah sosial.

Berpikir kreatif harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas melibatkan respons atau gagasan baru, atau yang secara statistic sangat jarang terjadi. Syarat kedua kerativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis. Ketiga, kreativitas merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin (MacKinnon, 1962:485).

Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif : a) Orientasi, masalah dirumuskan dan aspek-aspek masalah diidentifikasi ; b) Preparasi, pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah ; c) Inkubasi, pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar kita ; d) Iluminasi, masa inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah. Ini menimbulkan Aha Erlebnis ; e) Verifikasi, tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahap keempat.

Berpikir kreatif tumbuh subur bila ditunjang oleh factor personal dan situasional. Orang-orang kreatif biasanya memiliki temperamen yang beraneka ragam. Namun walaupun demikian, menurut Coleman dan Hammen, ada beberapa factor yang secara umum menandai orang-orang kreatif, yakni : a) Kemampuan kognitif, termasuk di sini kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan dan fleksibilitas kognitif ; b) Sikap yang terbuka, orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal dan eksternal, ia memiliki minat yang beragam dan luas ; c) Sikap yang bebas, otonom dan percaya pada diri sendiri, orang kreatif tidak senang ‘digiring’, ia senang menampilkan dirinya semampu dan semaunya, ia tidak terlalu terikat pada konvensi-konvensi sosial. Mungkin inilah sebabnya, oarng-orang kreatif sering dianggap ‘nyentrik’ atau gila.

Pengertian Metode Kuantitatif & Kualitatif

Secara umum, jenis penelitian berdasarkan pendekatan analisisnya dibedakan menjadi dua, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan ini lazim juga disebut sebagai pendekatan, ancangan, rencana atau desain.

Rancangan atau desain penelitian dalam arti sempit dimaknai sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis penelitian. Dalam arti luas rancangan penelitian meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan penlitian. Dalam rancangan pereperencaan dimulai dengan megadakan observasi dan evaluasi rerhadap penelitian yang sudah dikerjakan dan diketahui, sampai pada penetapan kerangka konsep dan hipotesis penelitian yang perlu pembuktian lebih lanjut.

Rancangan pelaksanaan penelitian meliputi prose membuat prcobaan ataupun pengamatan serta memilih pengukuran variable, prosedur dan teknik sampling, instrument, pengumpulan data, analisis data yang terkumpul, dan pelaporan hasil penelitian.

Metode penelitian lebih dekat dengan teknik. Misalnya, penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Dengan kata lain, metode deskriptif tersebut dapat dikatakan juga sebagai teknik deskriptif.

Secara umum, jenis penelitian berdasarkan pendekatan analisisnya dibedakan menjadi dua, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan ini lazim juga disebut sebagai pendekatan, ancangan, rencana atau desain.

Rancangan atau desain penelitian dalam arti sempit dimaknai sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis penelitian. Dalam arti luas rancangan penelitian meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan penlitian. Dalam rancangan pereperencaan dimulai dengan megadakan observasi dan evaluasi rerhadap penelitian yang sudah dikerjakan dan diketahui, sampai pada penetapan kerangka konsep dan hipotesis penelitian yang perlu pembuktian lebih lanjut.

Rancangan pelaksanaan penelitian meliputi prose membuat prcobaan ataupun pengamatan serta memilih pengukuran variable, prosedur dan teknik sampling, instrument, pengumpulan data, analisis data yang terkumpul, dan pelaporan hasil penelitian.

Metode penelitian lebih dekat dengan teknik. Misalnya, penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Dengan kata lain, metode deskriptif tersebut dapat dikatakan juga sebagai teknik deskriptif.

Perbedaan Metode Kuantitatif dengan Kualitatif

No

Metode Kuantitatif

Metode Kualitatif

1

Menggunakan hiopotesis yang ditentukan sejak awal penelitian.

Hipotesis dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian.

2

Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal.

Definisi sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung.

3

Reduksi data menjadi angka-angka.

Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan.

4

Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian.

Lebih suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan.

5

Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan statistik.

Penilaian validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi.

6

Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci).

Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif.

7

Sampling random.

Sampling purposive.

8

Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal.

Menggunakan analisis logis dalam mengontrol variabel ekstern.

9

Menggunakan desain khusus untuk mengontrol bias prosedur.

Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias.

10

Menyimpulkan hasil menggunakan statistic.

Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata.

11

Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis.

Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan.

12

Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks.

Tidak merusak gejala-gejala yang terjadi secara alamiah /membiarkan keadaan aslinya.

ASEAN (English)

ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN)

ESTABLISHMENT
The Association of Southeast Asian Nations or ASEAN was established on 8 August 1967 in Bangkok by the five original Member Countries, namely, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, and Thailand. Brunei Darussalam joined on 8 January 1984, Vietnam on 28 July 1995, Lao PDR and Myanmar on 23 July 1997, and Cambodia on 30 April 1999.
As of 2006, the ASEAN region has a population of about 560 million, a total area of 4.5 million square kilometers, a combined gross domestic product of almost US$ 1,100 billion, and a total trade of about US$ 1,400 billion.

OBJECTIVES
The ASEAN Declaration states that the aims and purposes of the Association are: (1) to accelerate economic growth, social progress and cultural development in the region and (2) to promote regional peace and stability through abiding respect for justice and the rule of law in the relationship among countries in the region and adherence to the principles of the United Nations Charter.
The ASEAN Vision 2020, adopted by the ASEAN Leaders on the 30th Anniversary of ASEAN, agreed on a shared vision of ASEAN as a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies.
In 2003, the ASEAN Leaders resolved that an ASEAN Community shall be established comprising three pillars, namely, ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community and ASEAN Socio-Cultural Community.

FUNDAMENTAL PRINCIPLES
ASEAN Member Countries have adopted the following fundamental principles in their relations with one another, as contained in the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC):
1. mutual respect for the independence, sovereignty, equality, territorial integrity, and national identity of all nations;
2. the right of every State to lead its national existence free from external interference, subversion or coercion;
3. non-interference in the internal affairs of one another;
4. settlement of differences or disputes by peaceful manner;
5. renunciation of the threat or use of force; and
6. effective cooperation among themselves.

ASEAN SECURITY COMMUNITY
Through political dialogue and confidence building, no tension has escalated into armed confrontation among ASEAN Member Countries since its establishment more than three decades ago.
To build on what has been constructed over the years in the field of political and security cooperation, the ASEAN Leaders have agreed to establish the ASEAN Security Community (ASC). The ASC shall aim to ensure that countries in the region live at peace with one another and with the world in a just, democratic and harmonious environment.
The members of the Community pledge to rely exclusively on peaceful processes in the settlement of intra-regional differences and regard their security as fundamentally linked to one another and bound by geographic location, common vision and objectives. It has the following components: political development; shaping and sharing of norms; conflict prevention; conflict resolution; post-conflict peace building; and implementing mechanisms. It will be built on the strong foundation of ASEAN processes, principles, agreements, and structures, which evolved over the years and are contained in the following major political agreements:
• ASEAN Declaration, Bangkok, 8 August 1967;
• Zone of Peace, Freedom and Neutrality Declaration, Kuala Lumpur, 27 November 1971;
• Declaration of ASEAN Concord, Bali, 24 February 1976;
• Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Bali, 24 February 1976;
• ASEAN Declaration on the South China Sea, Manila, 22 July 1992;
• Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone, Bangkok, 15 December 1997;
• ASEAN Vision 2020, Kuala Lumpur, 15 December 1997; and
• Declaration of ASEAN Concord II, Bali, 7 October 2003.
In recognition of security interdependence in the Asia-Pacific region, ASEAN established the ASEAN Regional Forum (ARF) in 1994. The ARF’s agenda aims to evolve in three broad stages, namely the promotion of confidence building, development of preventive diplomacy and elaboration of approaches to conflicts.
The present participants in the ARF include: Australia, Brunei Darussalam, Cambodia, Canada, China, European Union, India, Indonesia, Japan, Democratic Republic of Korea, Republic of Korea (ROK), Lao PDR, Malaysia, Mongolia, Myanmar, New Zealand, Pakistan, Papua New Guinea, the Philippines, the Russian Federation, Singapore, Thailand, the United States, and Viet Nam.
The ARF discusses major regional security issues in the region, including the relationship amongst the major powers, non-proliferation, counter-terrorism, transnational crime, South China Sea and the Korean Peninsula, among others.

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
The ASEAN Economic Community shall be the end-goal of economic integration measures as outlined in the ASEAN Vision 2020. Its goal is to create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic region in which there is a free flow of goods, services, investment and a freer flow of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio-economic disparities in year 2020.
The ASEAN Economic Community shall establish ASEAN as a single market and production base, turning the diversity that characterises the region into opportunities for business complementation and making the ASEAN a more dynamic and stronger segment of the global supply chain. ASEAN’s strategy shall consist of the integration of ASEAN and enhancing ASEAN’s economic competitiveness.
In moving towards the ASEAN Economic Community, ASEAN has agreed on the following:
• institute new mechanisms and measures to strengthen the implementation of its existing economic initiatives including the ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) and ASEAN Investment Area (AIA);
• accelerate regional integration in the following priority sectors by 2010: air travel, agro-based products, automotives, e-commerce, electronics, fisheries, healthcare, rubber-based products, textiles and apparels, tourism, and wood-based products.
• facilitate movement of business persons, skilled labour and talents; and
• strengthen the institutional mechanisms of ASEAN, including the improvement of the existing ASEAN Dispute Settlement Mechanism to ensure expeditious and legally-binding resolution of any economic disputes.
Launched in 1992, the ASEAN Free Trade Area (AFTA) is now in place. It aims to promote the region’s competitive advantage as a single production unit. The elimination of tariff and non-tariff barriers among Member Countries is expected to promote greater economic efficiency, productivity, and competitiveness.
As of 1 January 2005, tariffs on almost 99 percent of the products in the Inclusion List of the ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand) have been reduced to no more than 5 percent. More than 60 percent of these products have zero tariffs. The average tariff for ASEAN-6 has been brought down from more than 12 percent when AFTA started to 2 percent today. For the newer Member Countries, namely, Cambodia, Lao PDR, Myanmar, and Viet Nam (CLMV), tariffs on about 81 percent of their Inclusion List have been brought down to within the 0-5 percent range.
Other major integration-related economic activities of ASEAN include the following:
• Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN in four areas, namely, capital market development, capital account liberalisation, liberalisation of financial services and currency cooperation;
• trans-ASEAN transportation network consisting of major inter-state highway and railway networks, including the Singapore to Kunming Rail-Link, principal ports, and sea lanes for maritime traffic, inland waterway transport, and major civil aviation links;
• Roadmap for Integration of Air Travel Sector;
• interoperability and interconnectivity of national telecommunications equipment and services, including the ASEAN Telecommunications Regulators Council Sectoral Mutual Recognition Arrangement (ATRC-MRA) on Conformity Assessment for Telecommunications Equipment;
• trans-ASEAN energy networks, which consist of the ASEAN Power Grid and the Trans-ASEAN Gas Pipeline Projects;
• Initiative for ASEAN Integration (IAI) focusing on infrastructure, human resource development, information and communications technology, and regional economic integration primarily in the CLMV countries;
• Visit ASEAN Campaign and the private sector-led ASEAN Hip-Hop Pass to promote intra-ASEAN tourism; and
• Agreement on the ASEAN Food Security Reserve.

ASEAN SOCIO-CULTURAL COMMUNITY
The ASEAN Socio-Cultural Community, in consonance with the goal set by ASEAN Vision 2020, envisages a Southeast Asia bonded together in partnership as a community of caring societies and founded on a common regional identity.
The Community shall foster cooperation in social development aimed at raising the standard of living of disadvantaged groups and the rural population, and shall seek the active involvement of all sectors of society, in particular women, youth, and local communities.
ASEAN shall ensure that its work force shall be prepared for, and benefit from, economic integration by investing more resources for basic and higher education, training, science and technology development, job creation, and social protection.
ASEAN shall further intensify cooperation in the area of public health, including in the prevention and control of infectious and communicable diseases.
The development and enhancement of human resources is a key strategy for employment generation, alleviating poverty and socio-economic disparities, and ensuring economic growth with equity.
Among the on-going activities of ASEAN in this area include the following:
• ASEAN Work Programme for Social Welfare, Family, and Population;
• ASEAN Work Programme on HIV/AIDS;
• ASEAN Work Programme on Community-Based Care for the Elderly;
• ASEAN Occupational Safety and Health Network;
• ASEAN Work Programme on Preparing ASEAN Youth for Sustainable Employment and Other Challenges of Globalisation;
• ASEAN University Network (AUN) promoting collaboration among seventeen member universities ASEAN;
• ASEAN Students Exchange Programme, Youth Cultural Forum, and the ASEAN Young Speakers Forum;
• The Annual ASEAN Culture Week, ASEAN Youth Camp and ASEAN Quiz;
• ASEAN Media Exchange Programme; and
• Framework for Environmentally Sustainable Cities (ESC) and ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

EXTERNAL RELATIONS
The ASEAN Vision 2020 affirmed an outward-looking ASEAN playing a pivotal role in the international community and advancing ASEAN’s common interests.
Building on the Joint Statement on East Asia Cooperation of 1999, cooperation between the Southeast and Northeast Asian countries has accelerated with the holding of an annual summit among the leaders of ASEAN, China, Japan, and the Republic of Korea (ROK) within the ASEAN Plus Three process.
ASEAN Plus Three relations continue to expand and deepen in the areas of security dialogue and cooperation, transnational crime, trade and investment, environment, finance and monetary, agriculture and forestry, energy, tourism, health, labour, culture and the arts, science and technology, information and communication technology, social welfare and development, youth, and rural development and poverty eradication. There are now thirteen ministerial-level meetings under the ASEAN Plus Three process.
Bilateral trading arrangements have been or are being forged between ASEAN Member Countries and China, Japan, and the ROK. These arrangements will serve as the building blocks of an East Asian Free Trade Area as a long term goal.
ASEAN continues to develop cooperative relations with its Dialogue Partners, namely, Australia, Canada, China, the European Union, India, Japan, the ROK, New Zealand, the Russian Federation, the United States of America, and the United Nations Development Programme. ASEAN also promotes cooperation with Pakistan in some areas of mutual interest.
Consistent with its resolve to enhance cooperation with other developing regions, ASEAN maintains contact with other inter-governmental organisations, namely, the Economic Cooperation Organisation, the Gulf Cooperation Council, the Rio Group, the South Asian Association for Regional Cooperation, the South Pacific Forum, and through the recently established Asian-African Sub-Regional Organisation Conference.
Most ASEAN Member Countries also participate actively in the activities of the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), the Asia-Europe Meeting (ASEM), and the East Asia-Latin America Forum (EALAF).

STRUCTURES AND MECHANISMS
The highest decision-making organ of ASEAN is the Meeting of the ASEAN Heads of State and Government. The ASEAN Summit is convened every year. The ASEAN Ministerial Meeting (Foreign Ministers) is held annually.
Ministerial meetings on the following sectors are also held regularly: agriculture and forestry, economics (trade), energy, environment, finance, health, information, investment, labour, law, regional haze, rural development and poverty alleviation, science and technology, social welfare, telecommunications, transnational crime, transportation, tourism, youth. Supporting these ministerial bodies are committees of senior officials, technical working groups and task forces.
To support the conduct of ASEAN’s external relations, ASEAN has established committees composed of heads of diplomatic missions in the following capitals: Beijing, Berlin, Brussels, Canberra, Geneva, Islamabad, London, Moscow, New Delhi, New York, Ottawa, Paris, Riyadh, Seoul, Tokyo, Washington D.C. and Wellington.
The Secretary-General of ASEAN is appointed on merit and accorded ministerial status. The Secretary-General of ASEAN, who has a five-year term, is mandated to initiate, advise, coordinate, and implement ASEAN activities. The members of the professional staff of the ASEAN Secretariat are appointed on the principle of open recruitment and region-wide competition.
ASEAN has several specialized bodies and arrangements promoting inter-governmental cooperation in various fields including the following: ASEAN Agricultural Development Planning Centre, ASEAN-EC Management Centre, ASEAN Centre for Energy, ASEAN Earthquake Information Centre, ASEAN Foundation, ASEAN Poultry Research and Training Centre, ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation, ASEAN Rural Youth Development Centre, ASEAN Specialized Meteorological Centre, ASEAN Timber Technology Centre, ASEAN Tourism Information Centre, and the ASEAN University Network.
In addition, ASEAN promotes dialogue and consultations with professional and business organisations with related aims and purposes, such as the ASEAN-Chambers of Commerce and Industry, ASEAN Business Forum, ASEAN Tourism Association, ASEAN Council on Petroleum, ASEAN Ports Association, Federation of ASEAN Shipowners, ASEAN Confederation of Employers, ASEAN Fisheries Federation, ASEAN Vegetable Oils Club, ASEAN Intellectual Property Association, and the ASEAN-Institutes for Strategic and International Studies. Furthermore, there are 58 Non-Governmental Organizations (NGOs), which have formal affiliations with ASEAN.

The Founding of ASEAN
On 8 August 1967, five leaders - the Foreign Ministers of Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand - sat down together in the main hall of the Department of Foreign Affairs building in Bangkok, Thailand and signed a document. By virtue of that document, the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) was born. The five Foreign Ministers who signed it - Adam Malik of Indonesia, Narciso R. Ramos of the Philippines, Tun Abdul Razak of Malaysia, S. Rajaratnam of Singapore, and Thanat Khoman of Thailand - would subsequently be hailed as the Founding Fathers of probably the most successful inter-governmental organization in the developing world today. And the document that they signed would be known as the ASEAN Declaration.
It was a short, simply-worded document containing just five articles. It declared the establishment of an Association for Regional Cooperation among the Countries of Southeast Asia to be known as the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) and spelled out the aims and purposes of that Association. These aims and purposes were about cooperation in the economic, social, cultural, technical, educational and other fields, and in the promotion of regional peace and stability through abiding respect for justice and the rule of law and adherence to the principles of the United Nations Charter. It stipulated that the Association would be open for participation by all States in the Southeast Asian region subscribing to its aims, principles and purposes. It proclaimed ASEAN as representing "the collective will of the nations of Southeast Asia to bind themselves together in friendship and cooperation and, through joint efforts and sacrifices, secure for their peoples and for posterity the blessings of peace, freedom and prosperity."
It was while Thailand was brokering reconciliation among Indonesia, the Philippines and Malaysia over certain disputes that it dawned on the four countries that the moment for regional cooperation had come or the future of the region would remain uncertain. Recalls one of the two surviving protagonists of that historic process, Thanat Khoman of Thailand: "At the banquet marking the reconciliation between the three disputants, I broached the idea of forming another organization for regional cooperation with Adam Malik. Malik agreed without hesitation but asked for time to talk with his government and also to normalize relations with Malaysia now that the confrontation was over. Meanwhile, the Thai Foreign Office prepared a draft charter of the new institution. Within a few months, everything was ready. I therefore invited the two former members of the Association for Southeast Asia (ASA), Malaysia and the Philippines, and Indonesia, a key member, to a meeting in Bangkok. In addition, Singapore sent S. Rajaratnam, then Foreign Minister, to see me about joining the new set-up. Although the new organization was planned to comprise only the ASA members plus Indonesia, Singapore's request was favorably considered."
And so in early August 1967, the five Foreign Ministers spent four days in the relative isolation of a beach resort in Bang Saen, a coastal town less than a hundred kilometers southeast of Bangkok. There they negotiated over that document in a decidedly informal manner which they would later delight in describing as "sports-shirt diplomacy." Yet it was by no means an easy process: each man brought into the deliberations a historical and political perspective that had no resemblance to that of any of the others. But with goodwill and good humor, as often as they huddled at the negotiating table, they finessed their way through their differences as they lined up their shots on the golf course and traded wisecracks on one another's game, a style of deliberation which would eventually become the ASEAN ministerial tradition.
Now, with the rigors of negotiations and the informalities of Bang Saen behind them, with their signatures neatly attached to the ASEAN Declaration, also known as the Bangkok Declaration, it was time for some formalities. The first to speak was the Philippine Secretary of Foreign Affairs, Narciso Ramos, a one-time journalist and long-time legislator who had given up a chance to be Speaker of the Philippine Congress to serve as one of his country's first diplomats. He was then 66 years old and his only son, the future President Fidel V. Ramos, was serving with the Philippine Civic Action Group in embattled Vietnam. He recalled the tediousness of the negotiations that preceded the signing of the Declaration that "truly taxed the goodwill, the imagination, the patience and understanding of the five participating Ministers." That ASEAN was established at all in spite of these difficulties, he said, meant that its foundations had been solidly laid. And he impressed it on the audience of diplomats, officials and media people who had witnessed the signing ceremony that a great sense of urgency had prompted the Ministers to go through all that trouble. He spoke darkly of the forces that were arrayed against the survival of the countries of Southeast Asia in those uncertain and critical times.
"The fragmented economies of Southeast Asia," he said, "(with) each country pursuing its own limited objectives and dissipating its meager resources in the overlapping or even conflicting endeavors of sister states carry the seeds of weakness in their incapacity for growth and their self-perpetuating dependence on the advanced, industrial nations. ASEAN, therefore, could marshal the still untapped potentials of this rich region through more substantial united action."
When it was his turn to speak, Adam Malik, Presidium Minister for Political Affairs and Minister for Foreign Affairs of Indonesia, recalled that about a year before, in Bangkok, at the conclusion of the peace talks between Indonesia and Malaysia, he had explored the idea of an organization such as ASEAN with his Malaysian and Thai counterparts. One of the "angry young men" in his country's struggle for independence two decades earlier, Adam Malik was then 50 years old and one of a Presidium of five led by then General Soeharto that was steering Indonesia from the verge of economic and political chaos. He was the Presidium's point man in Indonesia's efforts to mend fences with its neighbors in the wake of an unfortunate policy of confrontation. During the past year, he said, the Ministers had all worked together toward the realization of the ASEAN idea, "making haste slowly, in order to build a new association for regional cooperation."
Adam Malik went on to describe Indonesia's vision of a Southeast Asia developing into "a region which can stand on its own feet, strong enough to defend itself against any negative influence from outside the region." Such a vision, he stressed, was not wishful thinking, if the countries of the region effectively cooperated with each other, considering their combined natural resources and manpower. He referred to differences of outlook among the member countries, but those differences, he said, would be overcome through a maximum of goodwill and understanding, faith and realism. Hard work, patience and perseverance, he added, would also be necessary.
The countries of Southeast Asia should also be willing to take responsibility for whatever happens to them, according to Tun Abdul Razak, the Deputy Prime Minister of Malaysia, who spoke next. In his speech, he conjured a vision of an ASEAN that would include all the countries of Southeast Asia. Tun Abdul Razak was then concurrently his country's Minister of Defence and Minister of National Development. It was a time when national survival was the overriding thrust of Malaysia's relations with other nations and so as Minister of Defence, he was in charge of his country's foreign affairs. He stressed that the countries of the region should recognize that unless they assumed their common responsibility to shape their own destiny and to prevent external intervention and interference, Southeast Asia would remain fraught with danger and tension. And unless they took decisive and collective action to prevent the eruption of intra-regional conflicts, the nations of Southeast Asia would remain susceptible to manipulation, one against another.
"We the nations and peoples of Southeast Asia," Tun Abdul Razak said, "must get together and form by ourselves a new perspective and a new framework for our region. It is important that individually and jointly we should create a deep awareness that we cannot survive for long as independent but isolated peoples unless we also think and act together and unless we prove by deeds that we belong to a family of Southeast Asian nations bound together by ties of friendship and goodwill and imbued with our own ideals and aspirations and determined to shape our own destiny". He added that, "with the establishment of ASEAN, we have taken a firm and a bold step on that road".
For his part, S. Rajaratnam, a former Minister of Culture of multi-cultural Singapore who, at that time, served as its first Foreign Minister, noted that two decades of nationalist fervor had not fulfilled the expectations of the people of Southeast Asia for better living standards. If ASEAN would succeed, he said, then its members would have to marry national thinking with regional thinking.
"We must now think at two levels," Rajaratnam said. "We must think not only of our national interests but posit them against regional interests: that is a new way of thinking about our problems. And these are two different things and sometimes they can conflict. Secondly, we must also accept the fact, if we are really serious about it, that regional existence means painful adjustments to those practices and thinking in our respective countries. We must make these painful and difficult adjustments. If we are not going to do that, then regionalism remains a utopia."
S. Rajaratnam expressed the fear, however, that ASEAN would be misunderstood. "We are not against anything", he said, "not against anybody". And here he used a term that would have an ominous ring even today: balkanization. In Southeast Asia, as in Europe and any part of the world, he said, outside powers had a vested interest in the balkanization of the region. "We want to ensure," he said, "a stable Southeast Asia, not a balkanized Southeast Asia. And those countries who are interested, genuinely interested, in the stability of Southeast Asia, the prosperity of Southeast Asia, and better economic and social conditions, will welcome small countries getting together to pool their collective resources and their collective wisdom to contribute to the peace of the world."
The goal of ASEAN, then, is to create, not to destroy. This, the Foreign Minister of Thailand, Thanat Khoman, stressed when it was his turn to speak. At a time when the Vietnam conflict was raging and American forces seemed forever entrenched in Indochina, he had foreseen their eventual withdrawal from the area and had accordingly applied himself to adjusting Thailand's foreign policy to a reality that would only become apparent more than half a decade later. He must have had that in mind when, on that occasion, he said that the countries of Southeast Asia had no choice but to adjust to the exigencies of the time, to move toward closer cooperation and even integration. Elaborating on ASEAN objectives, he spoke of "building a new society that will be responsive to the needs of our time and efficiently equipped to bring about, for the enjoyment and the material as well as spiritual advancement of our peoples, conditions of stability and progress. Particularly what millions of men and women in our part of the world want is to erase the old and obsolete concept of domination and subjection of the past and replace it with the new spirit of give and take, of equality and partnership. More than anything else, they want to be master of their own house and to enjoy the inherent right to decide their own destiny ..."
While the nations of Southeast Asia prevent attempts to deprive them of their freedom and sovereignty, he said, they must first free themselves from the material impediments of ignorance, disease and hunger. Each of these nations cannot accomplish that alone, but by joining together and cooperating with those who have the same aspirations, these objectives become easier to attain. Then Thanat Khoman concluded: "What we have decided today is only a small beginning of what we hope will be a long and continuous sequence of accomplishments of which we ourselves, those who will join us later and the generations to come, can be proud. Let it be for Southeast Asia, a potentially rich region, rich in history, in spiritual as well as material resources and indeed for the whole ancient continent of Asia, the light of happiness and well-being that will shine over the uncounted millions of our struggling peoples."
The Foreign Minister of Thailand closed the inaugural session of the Association of Southeast Asian Nations by presenting each of his colleagues with a memento. Inscribed on the memento presented to the Foreign Minister of Indonesia, was the citation, "In recognition of services rendered by His Excellency Adam Malik to the ASEAN organization, the name of which was suggested by him."
And that was how ASEAN was conceived, given a name, and born. It had been barely 14 months since Thanat Khoman brought up the ASEAN idea in his conversations with his Malaysian and Indonesian colleagues. In about three more weeks, Indonesia would fully restore diplomatic relations with Malaysia, and soon after that with Singapore. That was by no means the end to intra-ASEAN disputes, for soon the Philippines and Malaysia would have a falling out on the issue of sovereignty over Sabah. Many disputes between ASEAN countries persist to this day. But all Member Countries are deeply committed to resolving their differences through peaceful means and in the spirit of mutual accommodation. Every dispute would have its proper season but it would not be allowed to get in the way of the task at hand. And at that time, the essential task was to lay the framework of regional dialogue and cooperation.
The two-page Bangkok Declaration not only contains the rationale for the establishment of ASEAN and its specific objectives. It represents the organization’s modus operandi of building on small steps, voluntary, and informal arrangements towards more binding and institutionalized agreements. All the founding member states and the newer members have stood fast to the spirit of the Bangkok Declaration. Over the years, ASEAN has progressively entered into several formal and legally-binding instruments, such as the 1976 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia and the 1995 Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone.
Against the backdrop of conflict in the then Indochina, the Founding Fathers had the foresight of building a community of and for all Southeast Asian states. Thus the Bangkok Declaration promulgated that “the Association is open for participation to all States in the Southeast Asian region subscribing to the aforementioned aims, principles and purposes.” ASEAN’s inclusive outlook has paved the way for community-building not only in Southeast Asia, but also in the broader Asia Pacific region where several other inter-governmental organizations now co-exist.
The original ASEAN logo presented five brown sheaves of rice stalks, one for each founding member. Beneath the sheaves is the legend "ASEAN" in blue. These are set on a field of yellow encircled by a blue border. Brown stands for strength and stability, yellow for prosperity and blue for the spirit of cordiality in which ASEAN affairs are conducted. When ASEAN celebrated its 30th Anniversary in 1997, the sheaves on the logo had increased to ten - representing all ten countries of Southeast Asia and reflecting the colors of the flags of all of them. In a very real sense, ASEAN and Southeast Asia would then be one and the same, just as the Founding Fathers had envisioned.
This article is based on the first chapter of ASEAN at 30, a publication of the Association of Southeast Asian Nations in commemoration of its 30th Anniversary on 8 August 1997, written by Jamil Maidan Flores and Jun Abad.